Indramayu, medianetral.com – Sidang praperadilan antara Pemohon MI melawan Polres Indramayu cq. Unit IV PPA Satreskrim Polres Indramayu (Termohon) kembali digelar di Pengadilan Negeri Indramayu, Kamis (16/10). Agenda sidang kali ini Kesimpulan Pemohon dan Termohon yang diwakili tim kuasa hukum Muhammad Ainun Najib Surahman, S.H., LL.M, Anggi Saputra S.H., LL.M, Yusuf Agung Purnama S.H., M.H dari Kantor Hukum ANAS & Partners.
Fakta baru terungkap dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Indramayu pada Kamis (16 oktober 2025) Dalam agenda persidangan Kesimpulan, tim kuasa hukum pemohon pada sidang sebelumnya menghadirkan dua orang saksi dan satu orang saksi Ahli Pidana yakni Dr.Alfitra.,S.H., M.Hum. dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Bhayangkara, dan PTIK.
dua orang saksi inisial MF dan UO, yang pada pokoknya menyampaikan benar tidak ada surat SPDP dan surat Pemberitahuan Penggledahan dan olah TKP.
dalam Keterangan Ahli: Penyelidikan dan Penyidikan Tak Bisa Dipisahkan
Ahli hukum pidana Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. dihadirkan untuk memberikan pandangan Akademis mengenai konsekuensi hukum dari prosedur penyelidikan dan penyidikan yang tidak sah.
Dalam keterangannya di bawah sumpah, Dr. Alfitra menjelaskan mengenai hubungan antara penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 2 KUHAP.
Menurut Ahli, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya.*
Ahli menegaskan bahwa secara sistematis penyelidikan merupakan tahapan awal dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan.
Tanpa adanya surat perintah penyelidikan yang sah, maka segala tindakan lanjutan seperti penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), pemanggilan, hingga penetapan tersangka dapat dinyatakan cacat formil dan tidak sah menurut hukum.
“Jika penyelidikan dilakukan tanpa dasar atau tidak sesuai prosedur, maka hasil penyidikannya ikut batal demi hukum,” jelasnya.
Dalam keterangannya, Dr. Alfitra memaparkan bahwa untuk menjamin agar suatu peristiwa hukum benar-benar terang dan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, penyidik wajib berpegang pada enam prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip Legalitas (Due Process of Law)
Semua tindakan penyidik harus berdasarkan hukum dan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, serta Perkap No. 1 Tahun 2022 tentang SOP Penyelidikan dan Penyidikan.
Dasar Hukum: Pasal 1 angka 2 dan 5 KUHAP; Pasal 14 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
2. Prinsip Profesionalitas
Setiap penyidik wajib melaksanakan tugas sesuai kompetensi dan keahliannya, serta menjaga integritas profesi dalam mencari kebenaran materiil.
Dasar Hukum: Pasal 3 huruf a Perkap No. 6 Tahun 2019 — penyidik wajib melaksanakan penyidikan secara profesional, proporsional, dan transparan.
3. Prinsip Proporsionalitas
Penyidik wajib menilai dengan cermat apakah suatu peristiwa memenuhi unsur tindak pidana atau bukan sebelum melanjutkan ke tahap penyidikan.
Dasar Hukum: Pasal 109 ayat (2) KUHAP; asas kehati-hatian dalam tindakan penyidikan.
4. Prinsip Transparansi
Seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus terbuka dan dapat diketahui oleh atasan hukum, pihak korban, dan pihak terlapor (tersangka). Dasar Hukum: Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 — SPDP wajib disampaikan kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
5. Prinsip Akuntabilitas
Setiap tindakan penyidik harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etik.
Dasar Hukum: Pasal 2 dan 3 Perkap No. 6 Tahun 2019.
6. Prinsip Objektivitas
Penyidik harus netral dan berorientasi pada kebenaran materiil, tidak mencari-cari kesalahan, serta tetap memperhatikan hal-hal yang meringankan tersangka.
Dasar Hukum: Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP — kewajiban menghentikan penyidikan jika tidak cukup bukti.
Ahli menegaskan:
“Apabila penyidik tidak menjalankan tahapan penyelidikan dan penyidikan secara benar menurut hukum, maka seluruh hasilnya termasuk penetapan tersangka berpotensi cacat formil dan batal demi hukum.”
Selain itu, fakta lain yang mencuat adalah Dua Surat Penyelidikan dan Dua Visum, Inkonsistensi Termohon Dalam sidang terungkap pula adanya dua Surat Perintah Penyelidikan yang diterbitkan oleh Termohon:
1. SP.Lidik/540/VI/2025/Reskrim tanggal 13 Juni 2025, dan
2. SP.Lidik/381/VII/2025/Reskrim tanggal 8 Juli 2025.
Dua surat berbeda untuk satu peristiwa yang sama dinilai sebagai bentuk inkonsistensi hukum yang menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon, bertentangan dengan asas kepastian hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).
Selain itu, Termohon juga menyampaikan dua hasil Visum et Repertum dengan nomor dan tanggal berbeda:
• 182.2/2292-UMPEG/RSUD/2025 (12 Juni 2025) dan
• 182.2/1611-UMPEG/RSUD/2025 (8 Juli 2025).
“Ini bukan sekadar kekhilafan administratif, tapi pelanggaran terhadap prinsip due process of law dalam hukum acara pidana,” ujar Anggi Saputra kuasa hukum Pemohon usai sidang.
Perbedaan dua visum atas peristiwa yang sama, menurut tim hukum Pemohon, menimbulkan ambiguitas bukti dan mengaburkan validitas pembuktian.Dengan hasil 2 (dua) visum yang disampaikan Termohon menimbulkan ambiguitas Visum et Repertum mana yang digunakan oleh Termohon dalam memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti agar tercapainya beyond reasonable doubt atau tidak ada keraguan dalam menentukan seorang tersangka.
Fakta lain berikutnya adalah Keterangan saksi Termohon yang memperkuat dari dalil Permohonan Pemohon, yang menegaskan di bawah sumpah bahwa US adalah individu normal secara psikis dan intelektual, mampu berkomunikasi, memahami perintah, serta menjalankan tugasnya secara konsisten dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, tidak terdapat indikasi bahwa US mengalami gangguan kejiwaan atau keterbelakangan mental sebagaimana mungkin didalilkan dalam perkara a quo.
dengan demikian Pengaduan yang diajukan bukan oleh korban merupakan kesalahan prosedural yang berakibat batal demi hukum.
Penutup
Persidangan praperadilan akan dilanjutkan dengan agenda Putusan pada hari Jumat,16 Oktober 2025.
Tim penasihat hukum MI berharap majelis hakim dapat menilai secara objektif seluruh rangkaian pelanggaran prosedural yang dilakukan Termohon, dan menyatakan penetapan tersangka tidak sah serta batal demi hukum.
https://shorturl.fm/JLwS7