Mengenang 40 Hari Abdul Hadi WM: Gerakan Angkatan 70 Sastra Sufi dan Kembali Ke Akar 

Jakarta, medianetral.com – Meskipun secara konseptual Abdul Hadi WM berhasil mengusung gerakan sastra Angkatan 70 namun kalah gema oleh gerakan sastra yang dirumuskan HB Jassin. Tapi ketika dia mengemukakan gerakan sastra sufi justru memiliki barisan panjang serta berhasil menjadi gerakan sastra yang massif dan menggeliat hingga saat ini.

Sementara gerakan kembali ke akar, dikatakan Agus R Sarjono oleh Abdul Hadi WM digerakkan sebagai jawaban atau antisipasi atas kondisi di mana jejak kolonialisme barat yang begitu kuat tertanam di Nusantara.

“Gerakan kembali ke akar ini kemudian menjadi tren, dan itu tidak hanya pada gerakan sastra tapi juga pada bidang lainnya,” ujar Agus R. Sarjono yang disampaikan pada acara Diskusi Sastra Mengenang 40 hari wafatnya Abdul Hadi WM, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Senin (26/2/2024).

Baca Juga: 

Diduga Ngantuk Travel Pengantar TKW Seruduk Box Unilever

Warga Majakerta Menyambut Baik Program Rutinan Pengobatan Geratis Oleh PT. KPI RU VI Balongan

Diskusi yang dipandu Riri Satria ini juga menghadirkan Maman S. Mahayana membahas soal alasan Abdul Hadi WM mengusung Angkatan 70.

Dimana kemunculan karya sastra di era itu sebagai karya sastra yang membawa ciri baru serta memiliki perbedaan mencolok dengan karya-karya sebelumnya.

“Pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual pada lingkungan dan zamannya,” tambah kritikus sastra, Maman S Mahayana.

Karya-karya sastrawan tahun 1970-an, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat, lanjutnya.

Berbeda dengan Sofyan RH. Zaid, pembicara dari Universitas Paramadina ini membahas keterkaitan Abdul Hadi WM dengan genre puisi sufi-nya.

Menurut Sofyan, Abdul Hadi WM memiliki prinsip penting dalam hidupnya yang dia perjuangkan dari awal hingga akhir yaitu jembar atau me-lebar.

“Jembar atau tolerransi antara kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama (samahah) atau bisa juga disebut al-shafh, merupakan ajaran vital dalam kesufian. Sehingga menjadi salah satu puncak tertinggi capaian seorang sufi.

“Jembar disini kemudian menjadi rasa puas, rasa tenang, hilangnya rasa cemas, serta terus menerus merasa gembira. Tidak sedih kala kehilangan, tidak terlalu bahagia saat mendapatkan,” terang Sofyan.

Pada sesi kedua mengenang 40 hari wafatnya Abdul Hadi WM ini hadir perwakilan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Unit Pelaksana Teknis (UPT) PDS HB Jassin, dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dibuka dengan lantunan zikir.

Baca Juga:

Pj Kuwu Rajaiyang Ciptakan Komunikasi Dua Arah Untuk Memotivasi Petani

Antara Kebutuhan Pelayanan PLN dan Traumatik Masyarakat Soal Kebijakan yang Merugikan

Kemudian dilanjutkan pembacaan puisi oleh Giyanto Subagyo, Feri Putra, Piet Yuliakhansa, Nurhayati & Rokhana, Boyke Sulaiman, Narima Berly Ivana, Dyah Kencono Puspito Dewi, Guntoro Sulung, Sihar Ramses Simatupang, Trilogi, Nina Karenina, Evan YS, Wig SM, dan Tatan Daniel, serta musikalisasi puisi “Lagu Dalam Hujan” oleh Rinidiyanti Ayahbi. Ada juga tari sufi dibawakan Imam Ma’arif dan kawan-kawan dari RK Productiaon.

Dilanjutkan pembacaan puisi dan testimoni dari Gayatri Muthari, Jose Rizal Manua, Oktavianus Masheka, Sutardji Calzoum Bachri, Emi Suy, Arief Joko Wicaksono, Asrizal Nur, dan M. Subhi Ibrahim dari Paramadina. (Lasman Simanjuntak/*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *