PANTAI PLENTONG PADA MULANYA Pelajaran Dari Desa Ujunggebang Dan Peringatan Yang Diabaikan

 

5 Februari 2024

Indramayu, medianetral.com – Memandang hamparan biru laut dari Pantai Plentong dengan kapal-kapal tengker berlabuh dikejauhan, dan beberapa perahu nelayan pencari ikan naik turun dimainkan gelombang. Semua tampak biasa. Tidak ada yang aneh dan tidak ada tanda-tanda kalau dikedalaman biru laut seluas 2000 hektar dari pantai itu, menyimpan selaksa kisah memilukan. Kisah dari ribuan kepala keluarga yang telah membuktikan pada dunia, kalau mereka pernah berumah dan beranak pinak di sana, Desa Ujunggebang. Yang secara evolutif dan seperti menunggu giliran, satu-satu rumah mereka diseret gelombang atas abrasi yang mengikis daratan dari jenis tanah pasir itu.

Kurang lebih 40 tahunan warga yang dulunya menempati daratan Ujunggebang yang kini tersebar dibeberapa blok desa atau keluar dari desa tersebut, telah mengetahui kalau desa ini suatu saat nanti akan hilang tergerus gelombang akibat abrasi. Mereka tahu, pemerintah desa tahu, pemerintah kecamtan tahu, pemerintah kabupaten tahu, bahkan pemerintah proipinsi dan pemerintah pusatpun tahu dari berita-berita yang ditulis wartawan. Atau laporan dari beberapa LSM kemnusiaan.

“Mungkin ini sudah menjadi kehendak Tuhan, ketika kita tidak bisa membaca tanda-tanda atau rahasia apa yang sebenarnya Tuhan berikan untuk Desa Ujunggebang. Yang jelas hamparan tanah di desa itu tidak sama dengan tanah-tanah yang ada di desa lainnya,” kata Toha (60) tahun, orang tua Royani (42) yang menceritakan masa kecilnya didaratan yang hilng.

Royani yang kini buka usaha kuliner di Pantai Plentong mengaku ketika masih kelas 5 SD dengan teman-temannya termasuk Hartono (46) sahabat dekatnya yang kini tinggal di Blok Pegagan menceritakan masa kecil mereka. Dikatakan kelebihan Desa Ujunggebang yang mereka ketahui adalah kesuburan tanahnya. Apapun yang ditanam di hamparan tanah seluas 2000 hektar itu tumbuh subur.

Dampaknya sangat dirasakan warga dengan kondisi perekonomian yang bergerak stabil, dari hasil pertanian, perternakan, nelayan, perdagangan sampai ke pekerja serabutan. Tanah dan laut seperti memanjakan mereka untuk hidup berumah berkeluarga dan beranak pinak. Sementara disisi lain setiap malam mereka selalu dibayang-bayangi ketakutan akan tangan-tangan gelombang yang suatu saat akan menyeret rumah mereka kedasar lautan.

“Dulu kalau pulang sekolah kami langsung berlarian dengn membawa keranjang, mendekati para pedagang yang menunggu buah-buah sawo yang sedang diturunkan dari pohonnya. Lalu kami ikut memunguti sawo-sawo setengah matang yang berjatuhan, dikumpulkan untuk kemnudian dijual kepada para pedagang yang datang dari luar desa. Pembelinya banyak karena pohon sawonyapun banyak dan besar-besar, milik warga dan ada juga yang milik desa Ujunggebang,” kenang Hartono.

Selain buah sawo Hartono dan kawan-kawan sepermainannya juga sering ke kebun orang tua mereka ikut mengumpulkan ganyong, singkong dan kacang-kacangan. Waktu itu mereka juga sudah mengetahui kalau daratan desa tempat tinggal mereka sudah hilang separuhnya.

Diceritakan Hartono, ketika dia berumur 10 tahun waktu kuwunya Warsono, tahun 1982 dia baru tau kalau rumah warga sudah banyak yang hilang. Sementara menurut orang tuanya kalau abrasi sudah mulai terasa mengikis daratan Desa Ujunggebang tahun 80-an. Disitu warga desa sempat ramai membicarakan ambrolnya rumah Ketua RT, Mirus yang terletak di Blok Plentong. Yang posisinya paling pojok Desa Ujunggebang.

“Tahun 1991 ketika kuwunya Kasta, dan saya pulang ke desa setelah beberapa tahun bekerja diluar desa, Ujunggebang sudah tinggal 1 Km, selebihnya laut lepas,” tutur Hartono.

Laki-laki paruh baya itu mengatakan. Dia seringkali bertanya. Mengapa Desa Ujunggebang itu sampai harus dihilangkan. Dalam fikirannya dia acapkali mempertanyakan soal ketidak-pekaan pemerintah terhadap apa yang tersembunyi dibalik Desa Ujunggebang.

Padahal pemerintah sudah seringkali diingatkan tentang bagaimana ketakutan warga akan abrasi yang suatu saat bisa saja ikut menyeret nyawa mereka. Namun pemerintah seolah digelapkan langkh dan fikirannya untuk menyelamatkan Ujunggebang yang subur dan eksotik itu. (acep syahril)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *