Oleh: Acep Syahril
Suatu kali di tahun 2003, Kamis 5 Mey Pukul 12.35 Wib, ini pertama aku datang ke pondok pesantren Candangpinggang, Kertasemaya Indramayu. Kedatanganku tentu ingin bertemu Buya Syakur Yassin, seperti orang kebanyakan aku juga menyebutnya seperti itu.
Setelah menunggu beberapa waktu Pukul 13.25 Wib Buya Syakur keluar aku langsung menghampiri dan menyalaminya. Dengan ramah beliaupun bertanya dari mana asal dan tujuanku. Pertanyaannya langsung aku sambar.
Saya mau bertemu Buya, balasku. Tanpa basa basi aku langsung mengutarakan maksud dan tujuan kedatanganku.
Waktu itu aku minta saran serta pandangannya soal keberadaan rumah tanggaku, karena aku tidak ingin mengambil keputusan sepihak seperti pernah diajarkan guruku ketika masih belajar di pondok.
Tanpa ba bi bu Buya Syakur pun langsung melempar pertanyaan padaku.
Sampean tau kue koci?
Tau Buya, jawabku.
Cari kue koci yang ada rambut di dalamnya, lalu tarik keluar rambut itu dan jangan sampai putus, sarannya.
Mendengar penuturannya otakku langsung menangkap apa yang dimaksud Buya Syakur Yassin. Tentu butuh kesabaran untuk mengeluarkan seutas rambut dari dalam kue koci yang terbuat dari ketan itu kalau tidak mau putus.
Pilosofi kue koci ini kukira jawaban tepat untuk menghadapi kepelikan hidup rumah tanggaku. Artinya beliau tidak mau mengguruiku terlalu jauh, semua harus dihadapi dan semuanya harus dijalani dengan sabar kalau tidak ingin hancur.
Sesudah pertemuan itu aku yang lebih menitik-beratkan pertemuan ini sebagai pertemuan dengan seorang penyair atau sastrawan selain sebagai seorang kiyai cerdas cendikia. Ternyata butuh waktu dan kesempatan untuk masuk ke wilayah sastra itu apalagi untuk membicarakan soal puisi.
Pengetahuanku soal Syakur Yassin berawal dari Adlan Dai, Oushj Dialambaqa dan almarhum Fuzail Ayad Syahbana. Mereka banyak cerita tentang kehidupan Syakur Yassin, waktu itu lebih pada kemampuan beliau dalam hal melakukan kajian Al Quran. Mendengar penjelasan mereka karuan aku langsung ciut, artinya Syakur Yassin bukan penyair sembarangan pikirku.
Singkat cerita dari pergaulan kami, suatu kali Buya Syakur mengajakku bicara soal keinginannya mengumpulkan para dalang sandiwara dan pencipta lagu-lagu saerah Indramayu se Kabupaten Indramayu. Alasannya karena selama ini mereka pada saat tanggap seringkali mengutip hadis atau bacaan Al Quran yang cara pengucapannya seringkali ngawur.
Beda lagi dengan para pencipta lagu-lagu daerah, dari mulai judul sampai isinya kadang terkesan keras dan kasar. Dalam hal ini Buya Syakur merasa risih dan beliau ingin duduk bareng agar mereka bisa menciptakan lagu-lagu daerah Indramayu dengan lirik lebih enak didengar dan menuntun.
Setelah itu Buya Syakur sering ke rumah menjemput aku dan kami bersama dalang Sukara asal Jambe kadang muter ke beberapa Dalang Sandiwara, sampai kemudian tercetuslah keinginan beliau mendirikan Paguyuban Seniman Indramayu. Ada beberapa kali pertemuan di Pondok Pesantren dengan sejumlah Dalang dan seniman sandiwara lainnya. Tapi kemudian kesepakatan pembentukan itu berlangsung di Sanggar Mulya Bhakti Tambi.
Menyerap dan Menjabarkan Sendiri
Sebagai orang yang bergelut kental di dunia sastra tentu ini juga kesempatan belajar dan sekaligus tantangan bagiku untuk bisa berdiskusi dengan beliau. Walaupun pada akhirnya aku lebih banyak menyerap.
Sejak pertemuan itu akhirnya aku jadi sering main ke Pondok Pesantren Candangpinggang, disitu aku lebih banyak menyerap tentang siratan-siratan ibadah dalam Islam serta pergaulan sosial yang konteksnya jauh lebih bermakna dalam menjalani kehidupan ini. Pengalaman menyerap ini hanya untukku pribadi sambil terus mempelajarinya dengan mengorek berbagai sumber untuk menumbuhkan keyakinanku sebagai orang bodoh.
Seperti salat misalnya, aku menjabarkan sendiri ibadah wajib ini sebagai suatu gerakan selain mampu menciptakan manusia-manusia beriman, juga menjadi makhluk sosial dan peka.
Sebab pada gerakan sujud, disitu tidak sekonyong-konyong menempelkan dahi ke sajadah tetapi ada satu titik kelenjar yang semestinya bereaksi ketika benar melakukannya. Kelenjar tersebut adalah pineal, ukurannya sangat kecil, sekitar 5-8 mm, seperti sebutir beras. Posisinya di tengah otak yang turut berperan dalam mengatur mood dan kinerja otak manusia (setelah membaca berbagai sumber).
Lalu membaca Al Quran efek yang aku rasakan sangat berbeda dengan pada saat ngobrol atau bernyanyi. Pada saat membaca Al Quran aktivitas ini sangat terasa pada gerakan lidah yang bergerak unik serta menyentuh bagian langit-langit mulut. Sementara langit-langit tersebut terdapat saraf parasimpatik yang sering disebut dalam dunia kesehatan yaitu saraf kehidupan. Yang manfaatnya tentu sangat mempengaruhi cara berfikir termasuk kreativitas.