Cirebon, medianetral.com – Penyair dan Sastrawan, Acep Syahril merayakan hari kelahirannya ke 61, Senin tanggal 25 November 2024 di SMAN 1 Beber, Kabupaten Cirebon – Jawa Barat.
Teaterawan D. Ipung Karnawi, selaku pengajar sekaligus penggerak literasi budaya di sekolah tersebut, menuturkan. Kalau kegiatan ini atas permintaan Acep Syahril sendiri.
“Beliau sendiri yang meminta agar dibuatkan kegiatan budaya di SMAN 1 Beber untuk merayakan hari ulang tahunnya ke 61, sekaligus ingin berbagi dengan para siswa 40 tahun proses kreatifnya dalam bersastra di tanah air,” jelas Ipung.
Sementara kepala SMAN 1 Beber, Ahmad Abung Suud, S.Pd., M.Pd, mengaku sangat bersyukur atas kegiatan ini.
“Jelas ini rizqi dan pertemuan yang memiliki makna luas dalam gerakan budaya sillaturrahim, yang tidak hanya menambah panjang jalan rizqi, tapi juga pengetahuan, kesehatan dan usia,” tutur Ahmad Abung.
Acep Syahril
Penyair dan Sastrawan kelahiran Cilimus, Kuningan – Jawa Barat 25 November 1963. Ibunya, Hadijah berasal dari Desa Cilimus, sedangkan ayahnya, Abdul Azis Sutan Basa dari Dusun Koto Tangah, Ampe Angke Candung, Bukittinggi – Sumatera Barat. Anak kedua dari delapan (8) saudara. Pendidikan terakhirnya hanya sampai kelas 2 SMA, di SMA Dharma Bakti 2 Jambi.
Acep mulai menekuni dunia sastra pada usia 21 tahun, lalu memilih media untuk mempublikasikan puisi-puisinya dengan cara yang tidak umum, yakni dengan cara dibacakan ditempat-tempat umum selama belasan tahun diawal 80-an. Di rumah-rumah makan, di restoran, si pasar, di bis-bis kota, antar kota antar propinsi, di kafe-kafe, di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di kapal laut, di kampung kampung, di swalayan, di lokalisasi-lokalisasi di Indonesia, kecuali di dalam pesawat terbang.
Selama belasan tahun dijalanan, dia lebih banyak menekuni dunia pendidikan di Indonesia, baik melalui bacaan maupun bertanya dan menulis. Tulisan-tulisannya berupa puisi, artikel dan kritik puisi mulai dimuat disurat-surat kabar, tahun 1984. Karya-karya puisinya sampai saat ini tergabung dalam 113 buku kumpulan puisi bersama penyair Indonesia dan Asia Tenggara. Empat (4) buku kumpulan puisi tunggal, Ketika Indoneia Berlari (1995), Negri Yatim (2009), Guru Dalam Selimut (2018), Rumah Sakit Cinta dan Koruptor (2024). Kumpulan Kritik Puisi 1 dan 2 (2022 dan 2023), kumpulan kritik puisi tunggal, Belajar Dari Puisi, Puisi dan Jalan Hidup, Puisi dan Imajinasi yang Terbakar (2024), dan lain-lain. Dia juga banyak memberi pengantar pada buku-buku kumpulan puisi penyair baik di Indonesia juga Malaysia.
Tahun 1990 Acep Syahril mulai mengetes pengetahuan pedagogic yang dia pelajari secara otodidak dengan memberikan materi apresiasi di SMPN1 Piungan Jogjakarta. Tahun 1993 melalui rekannya diberi kesempatan kegiatan apreiasi di Fakultas Sastra Perancis Universita Indonesia, ditahun yang sama dia juga diantar oleh almarhum penyair Dari Al Mubari masuk kelas Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Riau, serta Universitas Negeri Jambi, melalui Almarhum Penyair Dimas Arika Mihardja.
Sejak saat itu dia lebih banyak meminta kepada para penyelenggara sekolah di Indonesia agar dirinya diterima untuk memberikan kegiatan Apresiasi Sastra. Karena dia sadar betul kalau dunia pendidikan di Indonesia tidak membutuhkan sastra. Jadi menurutnya bohong besar, kalau selama ini ada Siswa Bertanya soal sastra. Entah kalau saat ini.
Selama kurang lebih 20 tahun keluar masuk sekolah dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia, dia berhasil menulis beberapa buku apresiasi puisi dan cerpen karya pelajar dengan judul Tumbuh 1, 2 dan 3.
Menikah
Acep Syahril menikahi wanita yang dia kenal 2 hari, lalu memutuskan untuk menikah tanggal 29 Juni 1995 dengan mahar buku kumpulan puisi. Sebagai mahar yang harus diserahkan maka dibacakan satu puisi berjudul “catatan 4”. Ketika puisi itu dibacakan dihadapan penghulu, calon mertua dan hadirin, sebagian dari mereka menangis termasuk calon istrinya.
Awalnya Acep beranggapan bahwa puisinya sangat bagus, sedih dan tragis. Ternyata itu salah, sebab dimalam pertama istrinya menjawab, “kalau mereka menangis bukan karena puisinya yang hebat, tapi karena Mas miskin,” jelas istrinya.
Dari pernikahan itu dia dikaruniai dua anak, Sherina dan Zian Ar Rummy.
Ketika banyak orang bertanya soal proses kreatifnya selama belasan tahun hidup di jalan, seperti: “Apa yang kau dapat perjalanan panjang itu.”
Dia hanya menjawab: “ngantuk”.
“Sebab selama itu yang tidak pernah aku lewatkan adalah bersyukur, dan setiap kali “ngantuk” aku tidak pernah menyia-nyiakannya, aku langsung tidur, dimanapun, kapanpun, pada saat apapun dan bahkan situasi sedang dalam keadaan bagaimanapun. Soalnya aku tidak sanggup membayangkan ketika Tuhan tidak lagi memberi ngantuk atau kesempatan tidur bagiku,” katanya.