Sidang Praperadilan MI: Kuasa Hukum Soroti Cacat Prosedur Penyelidikan dan Penetapan Tersangka oleh Polres Indramayu

Indramayu, medianetral.com – Sidang praperadilan antara Pemohon MI melawan Polres Indramayu cq. Unit IV PPA Satreskrim Polres Indramayu (Termohon) kembali digelar di Pengadilan Negeri Indramayu, Rabu (15/10). Agenda sidang kali ini meliputi penyampaian duplik dari Termohon serta pembuktian oleh Pemohon yang diwakili tim kuasa hukum Muhammad Ainun Najib Surahman, S.H., LL.M, Anggi Saputra S.H., LL.M, Yusuf Agung Purnama S.H., M.H dari Kantor Hukum ANAS & Partners. Pada Rabu 15 Oktober 2025

Adapun agenda persidangan adalah penyampaian duplik dari Termohon dan pembuktian dari Penasihat Hukum selaku Pemohon. Dalam sidang itu, tim penasihat hukum Pemohon membawa sejumlah bukti surat serta menghadirkan dua orang saksi dan satu orang sebagai ahli. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Tunggal Agus Eman, tim kuasa hukum Pemohon menghadirkan dua orang saksi dan satu ahli hukum pidana yakni Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Bhayangkara, dan PTIK.


Diduga Ada Cacat Formil Sejak Awal Penyelidikan. Kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa proses hukum yang dijalankan oleh Termohon sejak tahap penyelidikan hingga penetapan tersangka penuh dengan kejanggalan formil dan substantif. Salah satu sorotan utama adalah surat pengaduan yang dijadikan dasar penyelidikan, yakni Surat Pengaduan Nomor: Peng/478/VI/2025/Rsk tertanggal 13 Juni 2025.

“Secara hukum, seseorang Pengadu adalah seseorang yang mengalami kerugian secara langsung sehingga pengaduan yang dibuat oleh orang tua korban tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk membuat Pengaduan,” tegas Muhammad Ainun Najib Surahman kuasa hukum. Oleh sebab itu, pengaduan tersebut tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 25 KUHAP jo Pasal 108 ayat (1) KUHAP, dan seharusnya tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan.

Tidak Ada Surat Perintah Penyelidikan dan SPDP Lebih lanjut, Pemohon menilai penetapan tersangka terhadap dirinya cacat hukum karena tidak pernah menerima Surat Perintah Penyelidikan (SP.Lidik) maupun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Padahal, menurut Lampiran I PERKABA No. 1 Tahun 2022 dan Pasal 14 ayat (1) Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 6 Tahun 2019, SPDP wajib disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum, pelapor, korban, dan TERLAPOR dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan. Bahwa Termohon tidak mampu menjawab baik dalam jawaban ataupun dalam dupliknya mengenai kewajibannya untuk memberikan Informasi Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), bahwa dalam hal ini Pemohon mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tersebut selama 7 hari sejak diterbitkannya surat tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-XIII/2013. Ketiadaan SPDP ini, menurut kuasa hukum, membuat proses penyidikan menjadi tidak sah secara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 130/PUU-XIII/2015 dan Putusan PN Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. “Ini bukan sekadar kekhilafan administratif, tapi pelanggaran terhadap prinsip due process of law dalam hukum acara pidana,” ujar Anggi Saputra kuasa hukum Pemohon usai sidang.

Dua Surat Penyelidikan dan Dua Visum, Bukti Inkonsistensi Termohon
Dalam sidang terungkap pula adanya dua Surat Perintah Penyelidikan yang diterbitkan oleh Termohon:
1. SP.Lidik/540/VI/2025/Reskrim tanggal 13 Juni 2025, dan
2. SP.Lidik/381/VII/2025/Reskrim tanggal 8 Juli 2025.
Dua surat berbeda untuk satu peristiwa yang sama dinilai sebagai bentuk inkonsistensi hukum yang menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon, bertentangan dengan asas kepastian hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).
Selain itu, Termohon juga menyampaikan dua hasil Visum et Repertum dengan nomor dan tanggal berbeda:
• 182.2/2292-UMPEG/RSUD/2025 (12 Juni 2025) dan
• 182.2/1611-UMPEG/RSUD/2025 (8 Juli 2025).
Perbedaan dua visum atas peristiwa yang sama, menurut tim hukum Pemohon, menimbulkan ambiguitas bukti dan mengaburkan validitas pembuktian. Dengan hasil 2 (dua) visum yang disampaikan Termohon menimbulkan ambiguitas Visum et Repertum mana yang digunakan oleh Termohon dalam memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti agar tercapainya beyond reasonable doubt atau tidak ada keraguan dalam menentukan seorang tersangka.

Keterangan Ahli: Penyelidikan dan Penyidikan Tak Bisa Dipisahkan
Ahli hukum pidana Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. dihadirkan untuk memberikan pandangan Akademis mengenai konsekuensi hukum dari prosedur penyelidikan dan penyidikan yang tidak sah. Dalam keterangannya di bawah sumpah, Dr. Alfitra menjelaskan mengenai hubungan antara penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 2 KUHAP. Menurut Ahli, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Ahli menegaskan bahwa secara sistematis penyelidikan merupakan tahapan awal dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan.

Tanpa adanya surat perintah penyelidikan yang sah, maka segala tindakan lanjutan seperti penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), pemanggilan, hingga penetapan tersangka dapat dinyatakan cacat formil dan tidak sah menurut hukum. “Jika penyelidikan dilakukan tanpa dasar atau tidak sesuai prosedur, maka hasil penyidikannya ikut batal demi hukum,” jelasnya.

Dalam keterangannya, Dr. Alfitra memaparkan bahwa untuk menjamin agar suatu peristiwa hukum benar-benar terang dan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, penyidik wajib berpegang pada enam prinsip dasar, yaitu:

1. Prinsip Legalitas (Due Process of Law)
Semua tindakan penyidik harus berdasarkan hukum dan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP, Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, serta Perkap No. 1 Tahun 2022 tentang SOP Penyelidikan dan Penyidikan.
Dasar Hukum: Pasal 1 angka 2 dan 5 KUHAP; Pasal 14 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.

2. Prinsip Profesionalitas
Setiap penyidik wajib melaksanakan tugas sesuai kompetensi dan keahliannya, serta menjaga integritas profesi dalam mencari kebenaran materiil.
Dasar Hukum: Pasal 3 huruf a Perkap No. 6 Tahun 2019 — penyidik wajib melaksanakan penyidikan secara profesional, proporsional, dan transparan.

3. Prinsip Proporsionalitas
Penyidik wajib menilai dengan cermat apakah suatu peristiwa memenuhi unsur tindak pidana atau bukan sebelum melanjutkan ke tahap penyidikan.
Dasar Hukum: Pasal 109 ayat (2) KUHAP; asas kehati-hatian dalam tindakan penyidikan.

4. Prinsip Transparansi
Seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus terbuka dan dapat diketahui oleh atasan hukum, pihak korban, dan pihak terlapor (tersangka).
Dasar Hukum: Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 — SPDP wajib disampaikan kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

5. Prinsip Akuntabilitas
Setiap tindakan penyidik harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan etik.
Dasar Hukum: Pasal 2 dan 3 Perkap No. 6 Tahun 2019.

6. Prinsip Objektivitas
Penyidik harus netral dan berorientasi pada kebenaran materiil, tidak mencari-cari kesalahan, serta tetap memperhatikan hal-hal yang meringankan tersangka.
Dasar Hukum: Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP — kewajiban menghentikan penyidikan jika tidak cukup bukti.

Ahli menegaskan: “Apabila penyidik tidak menjalankan tahapan penyelidikan dan penyidikan secara benar menurut hukum, maka seluruh hasilnya termasuk penetapan tersangka berpotensi cacat formil dan batal demi hukum.”

Kuasa Hukum: “Penetapan Tersangka MI Tidak Sah dan Harus Dibatalkan”
Tim kuasa hukum menilai bahwa seluruh proses hukum terhadap MI tidak hanya cacat formil, tetapi juga substantif.

Selain tidak ada SPDP, Termohon juga disebut melakukan penggeledahan dan olah TKP Selain itu, tindakan penggeledahan dan olah TKP yang dilakukan pada 16 Agustus 2025 diduga dilakukan tanpa surat pemberitahuan resmi kepada perangkat desa atau Pemohon sendiri, yang dinilai melanggar asas due process of law, yang bertentangan dengan Pasal 33–34 KUHAP. “Dalam perkara ini, asas legalitas, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi tersangka telah diabaikan. Maka kami meminta agar penetapan tersangka terhadap Pemohon dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum,” ujar Yusuf Agung Purnama tim hukum ANAS & Partners.

Surat Ketetapan Penetapan Tersangka yang dimaksud adalah Nomor: S.Tap/185/IX/2025/Reskrim tertanggal 15 September 2025. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011, frasa “bukti permulaan yang cukup” harus ditafsirkan sebagai bukti yang sah, relevan, dan logis untuk mengindikasikan keterlibatan seseorang dalam tindak pidana. Oleh karena alat bukti yang digunakan bersifat lemah, tidak langsung, dan tidak konklusif, maka penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah menurut hukum.

Penutup
Persidangan praperadilan akan dilanjutkan dengan agenda Kesimpulan dari Pemohon dan Termohon pada hari Kamis, 16 Oktober 2025.
Tim penasihat hukum MI berharap majelis hakim dapat menilai secara objektif seluruh rangkaian pelanggaran prosedural yang dilakukan Termohon, dan menyatakan penetapan tersangka tidak sah serta batal demi hukum.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *