Sidang Putusan ditunda, Kuasa Hukum berharap Hakim tetap objektif

Indramayu, medianetral.com – Sidang praperadilan antara Pemohon MI melawan Polres Indramayu cq. Unit IV PPA Satreskrim Polres Indramayu (Termohon) kembali digelar di Pengadilan Negeri Indramayu, Jumat (17/10/2025) Dengan agenda sidang Pembacaan Putusan dari Hakim Tunggal Agus Eman, S.H., M.H. Pemohon yang diwakili tim kuasa hukum Muhammad Ainun Najib Surahman, S.H., LL.M, Anggi Saputra S.H., LL.M, Yusuf Agung Purnama S.H., M.H dari Kantor Hukum ANAS & Partners.

Namun, putusan akhir sidang praperadilan tidak langsung dibacakan, dan ditunda hingga Senin, 20 Oktober 2025 pukul 10.00 WIB mendatang. Penundaan ini memunculkan beragam reaksi dari para pengunjung sidang dan dan khusus pihak keluarga Pemohon yang masih setia mengawal jalannya proses hukum tersebut. Kuasa Hukum Tegaskan Penetapan Tersangka Cacat Hukum

Kuasa hukum Muhammad Ainun Najib Surahman, S.H., LL.M. dalam keterangan resminya kembali menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap prosedur hukum.

“Dari awal prosesnya sudah janggal. Klien kami di laporkan dengan dua jenis laporan, yakni Pengaduan yang dibuat oleh orang tua korban dan Laporan polisi yang di buat oleh orang tua korban juga, tentunya ini menjadi sumir, dasar laporan yang mana yang menjadi dasar Penetapan Tersangka. Dalam hal ini alat bukti pun sangat lemah karna ada dua visum et repertum yg di pergunakan dengan jeda waktu masing-masing satu bulan, dan penyidik melakukan penyidikan tanpa prosedur yang sah. Ini bukan sekadar cacat hukum, ini bentuk kesewenang-wenangan,” ujarnya.

Pihaknya berharap hakim tunggal yang memimpin praperadilan dapat menimbang fakta-fakta hukum secara objektif, serta membatalkan penetapan status tersangka terhadap MI sebagai Pemohon yang dianggap tidak berdasar hukum dan melanggar hak asasi sebagai warga negara.

Fakta – fakta persidangan. Bahwa kuasa hukum menghadirkan dua orang saksi dan satu orang ahli, dua orang saksi inisial MF dan UO, yang pada pokoknya menyampaikan benar tidak ada surat SPDP yang di berikan kepada keluarga Pemohon dan tidak ada surat Pemberitahuan Penggledahan dan olah TKP yang diberikan Termohon kepada Pemohon maupun pihak pemerintahan desa yang terkait.

Berdasarkan keterangan ahli hukum pidana Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., dapat disimpulkan bahwa penyelidikan dan penyidikan merupakan dua tahapan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penegakan hukum pidana. Penyelidikan berfungsi sebagai tahap awal untuk menentukan layak atau tidaknya suatu peristiwa dilanjutkan ke tahap penyidikan. Oleh karena itu, jika penyelidikan dilakukan tanpa dasar hukum atau tidak sesuai prosedur, maka seluruh tindakan lanjutan seperti penerbitan Sprindik, pemanggilan, hingga penetapan tersangka menjadi cacat formil dan batal demi hukum.

Untuk menjamin sahnya proses tersebut, penyidik wajib berpegang pada enam prinsip dasar, yaitu legalitas, profesionalitas, proporsionalitas, transparansi, akuntabilitas, dan objektivitas. Prinsip-prinsip ini bertujuan memastikan bahwa setiap tindakan penyidik dilakukan sesuai hukum, berintegritas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, ketidakpatuhan terhadap tahapan dan prinsip-prinsip tersebut bukan hanya melanggar prosedur hukum, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi serius berupa batalnya seluruh hasil penyidikan, termasuk penetapan tersangka, karena dianggap tidak sah secara hukum.

Ahli menegaskan:
“Apabila penyidik tidak menjalankan tahapan penyelidikan dan penyidikan secara benar menurut hukum, maka seluruh hasilnya termasuk penetapan tersangka berpotensi cacat formil dan batal demi hukum.”
Ujar Alfitra.

Dari fakta persidangan terungkap adanya dua Surat Perintah Penyelidikan (SP.Lidik) dan dua Visum et Repertum yang berbeda untuk satu peristiwa hukum yang sama. Keberadaan dua surat dan dua visum tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi dan ketidakteraturan prosedural yang dilakukan oleh Termohon.

Hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon, tetapi juga bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, perbedaan dua visum atas satu kejadian yang sama mengaburkan kejelasan alat bukti dan menimbulkan keraguan terhadap validitas proses pembuktian yang dilakukan oleh penyidik.

Dengan demikian, inkonsistensi penerbitan dua surat penyelidikan dan dua visum tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran prosedur hukum yang berimplikasi pada cacat formil dalam proses penyelidikan dan penyidikan, serta berpotensi menggugurkan keabsahan seluruh hasil penyidikan karena tidak memenuhi prinsip beyond reasonable doubt dalam penetapan tersangka.

“Hal ini tidak dapat dianggap sebagai kesalahan administratif semata, melainkan merupakan pelanggaran terhadap prinsip due process of law dalam sistem hukum acara pidana,” ujar Anggi Saputra, kuasa hukum Pemohon, setelah persidangan.

Fakta lain yang terungkap adalah keterangan saksi dari pihak Termohon yang justru menguatkan dalil Pemohon. Dalam kesaksiannya di bawah sumpah, saksi menegaskan bahwa US merupakan individu yang sehat secara mental dan intelektual, mampu berkomunikasi dengan baik, memahami instruksi, serta melaksanakan tugasnya dengan konsisten dan penuh tanggung jawab.

Dengan demikian, tidak ada indikasi bahwa US mengalami gangguan jiwa atau keterbelakangan mental sebagaimana mungkin didalilkan dalam perkara a quo. Oleh karena itu, pengaduan yang diajukan oleh pihak selain korban merupakan pelanggaran prosedur hukum yang berimplikasi pada batalnya proses hukum tersebut demi hukum.

Usai persidangan, kuasa hukum Pemohon, Yusuf Agung Purnama, S.H., M.H. menegaskan bahwa keterangan saksi dari pihak Termohon justru memperkuat dalil yang diajukan Pemohon.

“Dari keterangan saksi yang dihadirkan Termohon sendiri, jelas bahwa US adalah individu yang sehat secara psikis maupun intelektual. Ia mampu berkomunikasi dengan baik, memahami setiap instruksi, serta menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Artinya, tidak ada satu pun indikasi yang menunjukkan bahwa US mengalami gangguan kejiwaan atau keterbelakangan mental sebagaimana mungkin didalilkan dalam perkara ini,” ujar Yusuf.

Lebih lanjut, Ainun Najib menilai bahwa pengaduan yang diajukan oleh pihak selain korban merupakan pelanggaran serius terhadap prosedur hukum acara pidana. “Hal ini bukan sekadar kekhilafan administratif, tetapi sudah masuk dalam kategori pelanggaran terhadap prinsip due process of law. Akibatnya, seluruh rangkaian proses hukum yang timbul dari pengaduan tersebut menjadi cacat formil dan batal demi hukum,” tegasnya.

Menurut Anggi, temuan ini semakin menegaskan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Termohon sejak awal tidak sah secara hukum, baik karena inkonsistensi administrasi maupun pelanggaran terhadap asas-asas dasar hukum pidana yang berlaku. Menunggu Putusan: Harapan untuk Keadilan, Ujian bagi Aparat Penegak Hukum

Seluruh perhatian kini tertuju pada putusan praperadilan yang dijadwalkan dibacakan pada Senin, 20 Oktober 2025. Bagi pihak Pemohon, putusan ini menjadi momen penting untuk mengungkap berbagai kejanggalan hukum dalam proses perkara tersebut. Di sisi lain, publik menantikan apakah aparat penegak hukum berani melakukan evaluasi terhadap langkah dan integritasnya sendiri.

Apabila permohonan praperadilan dikabulkan, maka status tersangka MI selaku Pemohon otomatis gugur, dan penyidikan wajib dihentikan. Namun jika ditolak perkara ini akan berlanjut ke tahap penyidikan, bahkan berpotensi masuk ke pengadilan pidana — meskipun masih menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah masyarakat.

“Kami berharap putusan ini menjadi titik terang, bukan hanya bagi Pemohon, tetapi juga bagi masyarakat luas yang kerap menjadi korban ketidakadilan atas nama hukum,” ujar Yusuf, menutup keterangannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Komentar